Sabtu, 06 Desember 2008

Tiga Tingkatan Kemusliman Dalam Menunaikan Ibadah

Mengingat Allah bisa dilakukan kapan dan dimanapun kita berada, mengingat Allah konotasinya adalah ibadah. Beribadah selain untuk mendekatkan diri kapada Yang Maha Mutlak juga untuk menempa diri secara mental spiritual hal ini, dikarenakan siapapun dia apapun jabatannya, niscaya dia tidak akan pernah bisa untuk terlepas dari yang namanya Tuhan. Meskipun seorang Ateis yang mengaku-ngaku bahwa Tuhan tidak ada
, Tuhan telah mati sebagaimana yang diungkapkan oleh Nische, namun mereka bukannya terlepas dari Tuhan melainkan terikat dengan tuhan-tuhan yang lainnya. Bisa jadi tuhannya adalah harta atau kekuasaan. Cinta selain kepada-Nya adalah cinta-cinta yang nyasar. Apapun yang diupayakan oleh manusia untuk menentramkan jiwanya seperti membenturkan diri dengan berbagai persoalan hidup, lain tidak akan bermuara kepada Tuhan itu sendiri. Dan untuk itu manusia diperintahkan untuk beribadah. Karena begitu urgennya mendekatkan diri kepada Allah dan manusia tidak bisa melakukannya secara langsung, sehingga disyari’atkan cara-cara beribadah melaui wahyu yang untuk mengimplementasikannya
Didalam menunaikan ibadah kepada Allah ada beberapa golongan:

Pertama : golongan Rahbani, mereka melakukan ibadah karena adanya peraturan/perintah atau karena adanya rasa takut, golongan ini disebut juga golongan birokratis. Mereka berbuat hanya untuk menyenang pihak atasan(dalam hal ini Allah) mereka tak ubahnya seperti budak. Budak kalau tidak diperintah dia tidak akan mau berbuat, malahan kalau perlu perintahnya bernada ancaman, kerjakan ini! cepat kalau tidak! Jangan lakukan itu Nanti kamu! Adalah merupakan sapaan sehari-hari bagi budak untuk disuruh melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Kedua :golongan Hayawani, mereka beribadah hanya karena diming-imingi dengan profit pahala, layaknya kalangan kapitalisme yang suka menumpuk keuntungan dan malah terkadang melakukan “monopoli”pahala. Otak dari sangkapitalis yakni berbuat sesuatu bila mendatangkan untung mereka mengusung slogan “memaksimalkan modal yang sekecil-kecilnya untuk meraup laba yang sebesar-besarnya' Konteksnya adalah dengan melimpahnya keuntungan pahala yang mereka dapatkan maka tidak terjadi defisit atau bangkrut secara akhirat sehingga nantinya bisa masuk surga nan serba ada.

Ketiga : golongan Rabbani, orang yang menunaikan ibadah karena dilandasi oleh aspek cinta kepada Allah. Apapun yang terjadi mereka tetap berbuat, apakah nantinya akan digiring ke singgasana surga atau malah diseret ke lembah neraka yang hina dina bukanlah merupakan hal yang penting bagi kalangan ini. Mereka cukup merdeka untuk mengetahui kapan harus berbuat sesuatu dan sebaliknya, tanpa memerlukan intervensi dari pihak lain. Tingkat ibadah seperti ini umumnya dilakukan oleh kalangan sufi, Rabiah Al-Adawiyah misalnya melukiskan rasa cintanya kepada Allah melalui lantunan syair “Kalau aku melakukan ibadah untuk mengharap surga Mu, ya Rabbi campakkanlah aku ke dalam Neraka-Mu. Kalau ibadahku ini akau lakukan karena takut akan neraka-Mu, maka tutuplah Pintu surga-Mu

Golongan Rabbani hanya menginginkan Allah titik bukan berharap surga atau karena menjauhi neraka. Mereka tidak diperbudak oleh ketakutan atau dibuai oleh keuntungan sehingga hanya mementingkan diri sendiri. Semua nabi sudah dipastikan tempatnya di surga tetapi tetap senantiasa berupaya untuk meningkatkan ibadah tidak lain karena cinta yang tak terhingga kepada-Nya. Dan mereka juga tak pernah alpa untuk mengajak umat dalam mendapatkan cinta Ilahi. Lain halnya dengan golongan Hayawani kalau mereka sudah jelas mendapatkan keuntungan mereka tidak akan peduli dengan yang lain, yang penting posisi mereka aman.

Menunaikan ibadah seperti yang dilakukan oleh golongan pertama dan kedua secara syariat tidaklah salah, hanya saja kurang menjiwai apa sebenarnya yang diinginkan oleh Allah melaui ibadah yang disodorkan kepada manusia. Pemahaman yang seperti ini baru tahap membaca kalamullah secara tersurat, ya kalau ada perintah dikerjakan dan kalau dilarang ya jangan nanti Tuhan marah lho.

Kalau pemahamannya seperti itu kurang mendidik kesadaran seakan-akan harus dikawal terus baru berbuat. Seharusnya selain memahami firman Allah secara tersurat perlu juga untuk menganalisa secara tersirat dan nantinya bisa untuk menjemput yang tersuruk.nah, dengan adanya pemahaman secara general terhadap wahyu Ilahi ibadah yang kita lakukan akan berdampak positif didalam setiap aspek kehidupan yang kita lakoni sehari-ahari. Walllahu alam bi sawab
Oleh : edomi saputra
Aktivis IMM- Kerinci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah bergabung

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.